Trasformasi Ekonomi Kelas Menengah di Jawa Barat

SYAUQI ROBBANI

Nov 07, 2024 – 9 mins read

Akhir-akhir ini kita disuguhkan berita tentang betapa buruknya kondisi ekonomi Indonesia. Bahkan 5 bulan berturut-turut, negara kita mengalami deflasi, yang artinya ekonomi kita tidak tumbuh, daya beli masyarakat terus jatuh. Kondisi ini terburuk sejak krisis ekonomi tahun 1998. Rata-rata tabungan masyarakat segmen di bawah 100 juta, pada tahun 2019 sebesar 3 juta, sementara tahun ini hanya di 1.5 juta. Artinya, mayoritas masyarakat kita tidak memiliki kesiapan dana darurat, bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka selama 1 bulan kedepan.

Alih-alih membuka jutaan lapangan kerja baru, tahun 2024 diwarnai dengan tingginya tingkat PHK dan tutupnya banyak bisnis di sektor manufaktur. Di Jawa Barat saja dalam satu tahun terakhir ada setidaknya 8 pabrik besar yang tutup. Sejak Januari hingga Juni 2024, jumlah pekerja yang terkena PHK di Jawa Barat mencapai 10.120 orang dari total 32.064 orang seIndonesia. Dengan demikian angka pengangguran semakin meningkat, saat ini saja Jawa Barat menjadi salah satu provinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia, bersama Banten, Kepulauan Riau, Jakarta, dan Papua Barat.

Belum lagi masyarakat dituntut untuk terus dapat mendukung APBN, dengan rencana mulai berlakunya PPn 12% tahun 2025.


Perginya Investasi Asing dari Indonesia

Jawa Barat dengan penduduk 48 juta jiwa, menjadi provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, memiliki peran dan kondisi yang juga merepresentasikan kondisi ekonomi negara. Perlu ekonomi yang kuat dengan industri beragam untuk bisa menyerap tenaga kerja di Jawa Barat. Saat Jawa Barat sangat membutuhkan investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonominya, kita justru terus-menerus kehilangan peluang tersebut.

Tesla akhirnya mundur dari rencana investasi di Indonesia, sementara Starlink yang saat launching di Indonesia disambut begitu meriah, akhirnya memutuskan untuk investasi sebesar 30 miliar saja, sedangkan investasi di Vietnam mencapai 24 triliun.

Belum lagi Tim Cook, CEO Apple, ketika April 2024 kemarin berkunjung ke Indonesia, mengumumkan berivestasi sebesar 1.6 triliun ke Indonesia. Selepas dari Indonesia, Tim bertolak ke Vietnam, dan mengumumkan investasi di Vietnam sebesar 250 triliun rupiah.


Bagaimana Ini Bisa Terjadi?

1. Kualitas SDM.

Saat Pak Gita Wirjawan berkunjung ke Harvard sebagai visiting fellow dan juga sebagai alumni senior, beliau berkesempatan diskusi di podcast saya. Saya bertanya, kenapa kita banyak kehilangan kesempatan investasi? Yang pertama beliau sampaikan, kualitas SDM. Jika kita lihat, PISA score Indonesia, yaitu score yang menilai kemampuan negara di bidang Bahasa Inggris dan juga STEM -Science, Technology, Engineering and Math-, sangat rendah. Dari 8 negara Asia Tenggara yang dinilai, Indonesia masuk peringkat ke-6, hanya lebih baik dari Filipina dan Kamboja. Nomor 1 diduduki oleh Singapura dan nomor 2 oleh Vietnam. Tidak heran Vietnam menjadi negara tujuan investasi banyak perusahaan asing, terlebih investasi yang memerlukan technical competencies yang tinggi, seperti industri teknologi atau high-tech manufacturing.

Bicara masalah pendidikan, ada refleksi yang saya pribadi nilai. Apakah perguruan tinggi di negara kita benar-benar memikirkan kualitas pendidikan, atau cenderung terjebak pada jumlah penerimaan mahasiswa dan tolak ukur skor penilaian?

2. Kepastian Regulasi.

Selain kualitas SDM, kepastian regulasi menjadi tantangan besar bagi para investor. Ada 2 aspek penting dalam dunia investasi terkait dengan kepastian ini. Investor besar menginginkan lingkungan investasi yang dapat diprediksi, terutama dalam hal kebijakan dan regulasi yang berlaku. IT MUST BE PREDICTABLE. Mereka berinvestasi triliunan rupiah, mereka harus tahu dalam 5-10 tahun kedepan, tidak akan ada perubahan regulasi yang signifikan, yang tiba-tiba membuat industri mereka menjadi tidak relevan.

Selain itu, yang tidak kalah penting adalah kepastian biaya. Ini yang tidak mudah. Di berbagai daerah, masih ada saja praktik-praktik bawah tangah oleh oknum penyelenggara perizinan. Anda bayangkan bagaimana bisnis bisa berkembang, ketika terjadi pergantian kepala daerah, misal Walikota atau Bupati, maka regulasi daerah pun berubah secara signifikan, belum lagi biaya-biaya “siluman” yang memaksa pengusaha mengeluarkan biaya lebih besar di luar budget investasi mereka.


Bagaimana Jawa Barat Bisa Memulai Perubahan?

1. Kemitraan dengan Pengusaha Besar Skala Lokal

Setelah saya selesai kuliah, sambil menunggu wisuda di Harvard, saya banyak menemui profesor untuk berkonsultasi tentang apa yang bisa dilakukan oleh Jawa Barat agar menjadi wilayah yang maju. Salah satu yang saya temui adalah Prof. Rafael Carbonel, yang mengajarkan State and Local Economic Development, bersama dengan Prof. Gordon Hanson. Jadi mata kuliah ini khusus membahas bagaimana pemerintah daerah bisa mengembangkan daerah, dengan segala keterbatasan wewenang dari sisi kebijakan moneter dan fiskal, termasuk didalamnya keterbasan anggaran.

Saat itu saya bercerita tentang background Jawa Barat, bagaimana penduduk Jawa Barat ini begitu besar, setara dengan Korea Selatan, bahkan dua kali lipat penduduk Australia. GDP Jawa Barat, atau nilai ekonomi Jawa Barat ini juga besar, 45% dari total ekonomi Singapura. Infrastruktur juga terus membaik, antar kota semakin terkoneksi, ada pelabuhan, airport juga banyak, terhubung cepat dengan Jakarta dengan kereta cepat. Saya juga bercerita bahwa Jawa Barat memiliki kawasan industri, khususnya perakitan otomotif di Karawang. Tapi kenapa ekonomi Jawa Barat begitu berat untuk terus maju? Bagaimana kita bisa maju dan bersaing?

Saya bertanya kepada Prof. Carbonel. “Prof, how can we attract more foreign direct investment to West Java, with limited fiscal authority?”. Kemudian Prof. Carbonel menjawab, “Gubernur cuma punya 5 tahun, maksimal 10 tahun. Fokus saja pada quick win dulu: kumpulkan pengusaha lokal yang sudah sukses dan besar, misalnya 20 pengusaha terbesar di Jawa Barat, beri mereka special assistant, tanya mereka; bagaimana supaya mereka mau ekspansi bisnis di Jawa Barat dan meningkatkan kapasitasnya, apa yg mereka perlukan. Singkatnya, beri mereka karpet merah.”

Berbisnis itu sangat sulit, menumbuhkan pengusaha itu berat, mengembangkan UMKM itu berat. Tapi pengusaha-pengusaha besar ini sudah tau, bagaimana cara membangun organisasi. Mereka sudah paham industri. Mereka sudah pandai mengelola ratusan bahkan ribuan karyawan. Pemerintah harus dorong mereka untuk terus menjadi sangat besar. Bayangkan ada pengusaha dengan karyawan 3000 orang, jika karyawan tumbuh 10% saja, sudah 300 lapangan kerja baru. Sementara bisnis baru, mengejar 300 karyawan itu berat sekali.

Hal ini juga dibahas oleh Professor Ricardo Haussman, direktur Harvard Growth Lab, think tank yang berfokus pada mendorong pertumbuhan ekonomi negara. Professor Haussman membahas diartikelnya berjudul “The Conglomerate Way to Growth”, bahwa meningkatkan ekonomi sebuah negara itu mahal: perlu inovasi, perlu ketahanan menghadapi perubahan ekonomi, perlu modal, perlu managerial skill, perlu sumber daya dan banyak akses. Dan pengusaha besar bisa melakukan itu semua dengan skala yang besar.

Yang tidak kalah penting, Prof. Carbonel bilang, pengusaha disini adalah pengusaha yang benar benar menciptakan values: membuat pabrik, memiliki pelayanan, memiliki brand dan sustainable business. BUKAN kemasan pengusaha yang ternyata adalah pemburu rente, pencari proyek proyek pemerintah untuk ambil selisihnya, kemudian flexing di sosial media sebagai pengusaha -bahkan kita tidak tahu brand bisnis dia ini sebetulnya apa?

2. Mindset Pemerintah Lokal

Salah satu komponen utama ekonomi sebuah daerah adalah ketahanan kelas menengah. Semakin kokoh kelas menengah, semakin baik ekonominya. Untuk mendorong kelas menengah yang kuat, perlu didukung oleh sektor formal - alias kerja kantoran. Kenapa? Karena sektor formal, memberikan perlindungan dari sisi ketidakpastian ekonomi. Bulan depan masih makan. Ekonomi turun, dia tidak sendirian, tapi ada atasannya, ada perusahaan, yang ikut mensupport. BPJS juga dibayarkan melalui perusahaan. Ada pensiun. Kita lihat kebutuhan masyarakat akan pekerjaan tinggi sekali. Kemarin, di satu daerah, ada RS baru dibuka, kebutuhan karyawan 250 orang, yang daftar sampai hampir 10 ribu orang. Kita lihat bahkan lowongan kerja untuk franchise makanan saja, antrian pelamar kerja sampai hampir satu kilometer.

Ketahanan ekonomi kelas menengah, ditopang oleh tingginya sektor formal, harus jadi perhatian pemerintah daerah. Yang jadi masalah, tidak jarang, ketika ada pengusaha akan masuk ke sebuah daerah, alih alih membuka karpet merah bagi mereka, pemerintah daerah malah menganggap “oohh... kamu mau bisnis di tempat saya. Saya siap bantu. Berani berapa?”.

Bandingkan dengan di Amerika. Waktu amazon akan buka kantor, negara negara bagian berebut memberikan insentif pajak bahkan lahan, supaya Amazon mau membuka kantor di negara bagian mereka. Dan akhirnya di menangkan oleh Virginia.

Disana, kepala daerah berpikir sangat penting mendukung pengusaha berinvestasi, karena ini kunci terbukanya lapangan pekerjaan. Itu juga kenapa Donald Trump tahun 2020 memenangkan pemilu dengan tagline “Make America Great Again”. Trump membawa narasi pentingnya mengembalikan sektor manufaktur dari China kembali ke Amerika.

Sementara di Indonesia, kemarin saya liat di podcast The Overpost oleh Leonard Hartono, untuk buka gudang saja, harus ada 18 izin, berbulan-bulan. Mindset pemerintah daerah, baik dari kepala daerah maupun organ birokrasi, penting untuk terus didorong supaya semakin baik lagi.

Pengusaha dan pemerintah adalah mitra, yang SALING memerlukan. Pengusaha perlu pemerintah untuk mempermudah mereka berbisnis sesuai dengan etika dan tata kelola yang baik. Pemerintah perlu pengusaha, untuk membuka lapangan pekerjaan, penerimaan pajak, dan tentu sebagai trigger ekonomi. Jika Anda buka mall di sebuah daerah dan akhirnya maju, bukan hanya pengusaha mall yang berkembang. Masyarakat sekitar, restoran sekitar, pengusaha UMKM sekitar, pengusaha fashion, dan sebagainya juga ikut berkembang. Trickle-down effect ini penting untuk mendorong ekonomi.

3. Membangun Rencana Pengembangan Ragam Industri.

Manufaktur, itu ragamnya banyak. Kita harus tahu itu. Diskusi saya dengan Prof. Haussman di Harvard Kennedy School, kita kategorikan kedalam Low Precision Manufacturing sampai High Precision Manufacturing.

Low Precision Manufacturing ini adalah produk barang yang diproduksi tanpa memerlukan teknikal skill yang terlalu tinggi, mudah untuk diberikan pelatihan. Misalnya, tekstil. Itulah kenapa kita banyak menemukan factory outlet untuk barang barang pakaian cacat produksi. Ukuran M kadang berbeda beda meski sedikit, padahal merk nya sama. Itulah kenapa disebut Low Precision Manufacturing. Industri kemasan makanan juga termasuk kedalam kategori ini.

Ciri khas dari industri ini, persaingan ditentukan oleh seberapa rendah biaya SDM. Semakin rendah biaya SDM, maka semakin unggul pabriknya. Itulah kenapa Indonesia tahun 1990an sampai awal 2000an dibanjiri oleh order dari brand brand besar, seperti Adidas dan Nike, untuk memproduksi pakaian dan sepatu mereka.

Masalah dari industri low precision manufacturing, adalah mudah ditiru. Itulah kenapa, sekarang kalau kita lihat, indeks manufaktur kita jatuh. PHK dimana-mana. Kita kalah bersaing oleh Vietnam, Myanmar, Bangladesh, karena biaya tenaga kerja disana sangat murah. Brand brand besar mulai meninggalkan Indonesia dan pergi, karena SDM di kita dianggap kemahalan, belum lagi biaya perizinan dan sebagainya.


Lalu apa yang dilakukan oleh negara-negara yang lebih maju


Mereka memulai dari Low Precision Manufacturing: membuat hal yang mudah

Kita lihat Korea Selatan, tahun 1965 mereka dominan memproduksi tekstil, memproduksi plastik, melakukan ekspor sumber daya alam, agriculture, sektor-sektor yang sangat mudah diproduksi. Tapi mereka perlahan-lahan berubah yang awalnya mereka memproduksi tekstil, perlahan mereka memproduksi kendaraan, memproduksi mesin, serta memproduksi alat-alat elektronik.

Sehingga yang tadinya low precision manufacturing, perlahan tapi pasti mereka berpindah ke high precision manufacturing. High precision manufacturing ini ciri khasnya adalah membutuhkan skill SDM yang besar, yang tinggi, yang berkualitas. Sehingga pertimbangan orang berinvestasi bukan lagi pada berapa murah biaya SDM-nya, tapi seberapa kompeten SDM-nya. Dampak dari high precision manufacturing adalah ekonomi yang terus bertumbuh, tidak mudah digantikan oleh negara-negara yang lain. Itulah kenapa sekalipun biaya SDM-nya mahal, tetap menjadi tujuan investasi dari negara-negara yang lain..

Sekarang kita lihat Taiwan tahun 80an, memproduksi plastik, obeng, tekstil, sepeda, bahkan ekspor daging babi. Mereka sadar, produksi seperti itu mudah ditiru. Perlahan, mereka mendidik masyarakat agar mampu memproduksi barang yang lebih kompleks untuk diproduksi. Mereka mulai memproduksi rakitan elektronik. Belum membuat, cuma merakit. Kemudian semakin berkembang ekonomi, pemerintah mendorong para pelajar mengambil PhD dibidang STEM: Science, Technology, Engineering, and Math. Sampai akhirnya, saat ini Taiwan adalah market leader yang beberapa tahun lalu menguasai hingga 80% market share semiconductor dunia. Chip di seluruh dunia, yang ada di HP, di mobil, lampu, jam tangan, perangkat elektronik, diproduksi di Taiwan.

Amerika ingin mengikuti langkah Taiwan: mengeluarkan CHIP Act, menghabiskan lebih dari 600 triliun, supaya Amerika juga mampu memproduksi chip. Hasilnya? Tidak signifikan menggeser Taiwan. China lebih ekstrim. Mereka sedang manuver untuk menarik kembali Taiwan menjadi bagian dari China, karena ingin menguasai kemampuan memproduksi chip. Kenapa begitu sulit? Karena anda tidak bisa jadi lulusan SMA atau SMK untuk bisa bekerja di pabrik semiconductor. Anda harus PhD. Ini yang disebut High Precision Manufacturing.

Karena kebutuhan skillnya sangat sulit, maka tentu tenaga kerja yang diperlukan menjadi mahal. Tidak mudah digantikan oleh negara lain. Akhirnya, Taiwan bisa bersaing bukan lagi karena “oh barang Taiwan murah”, tapi karena “cuma Taiwan yang bisa melakukan itu”. Dan itu hasil dari High Precision Manufacturing.


Siapkah Indonesia Melepas Low Precision Manufacturing?

Pertanyaan berikutnya adalah apakah Indonesia siap ketika ditinggalkan oleh tekstil? Karena kalau kita lihat PHK yang begitu besar, yang begitu masif, banyak dari sektor-sektor Low Precision Manufacturing, tapi Indonesia belum siap dengan High Precision Manufacturing. Inilah kenapa kita harus terus mendorong transisi ini.

Dan transisi ini salah satu kuncinya adalah dengan mendorong kualitas pendidikan yang ada di Indonesia. Kawan-kawan sekalian, kalau kita lihat di tahun 1995, ekspor Indonesia didominasi oleh palm oil. Kemudian oleh hasil tambang, juga tekstil, dan bahan-bahan mentah. Tahun 2020, komposisi itu tidak banyak berubah. Dan kalau kita melihat, ternyata dalam spektrum 25 tahun, seharusnya kita sudah begitu banyak berubah.

Kita lihat bagaimana Thailand berubah signifikan dalam 25 tahun. Bagaimana Korea Selatan, Taiwan, China berubah dalam waktu 25 tahun. Keragaman produksi ini menunjukkan bahwa SDM-SDM kita memiliki keragaman kompetensi. Dan semakin tinggi skill kita, maka semakin tinggi juga keragaman produksi yang ada di Indonesia.

Inilah yang harus kita dorong, dan ini hanya akan bisa didorong jika pemerintah juga ikut mendukung, pemerintah juga ikut mensupport, dan memiliki visi yang sama. Inilah kenapa saya sangat berkeyakinan, Jawa Barat bisa maju dengan peluang-peluangnya, dengan resourcenya, bahkan Jawa Barat menjadi provinsi yang memiliki banyak universitas-universitas hebat di Jawa Barat.

Kita bisa maju, kita bisa berkembang, kita bisa bersama-sama membangun ekonomi Jawa Barat, dan mengembangkannya. Jika Thailand bisa berubah dari mengekspor agrikultur menjadi pengekspor elektronik, kendaraan, kemikal, begitu beragam. Indonesia Emas 2045, masyarakat di Jawa Barat tidak hanya bisa mengekspor hasil tekstil atau hasil rakitan kendaraan, tapi kita juga akan bisa mengekspor beragam macam produk yang dihasilkan dari high precision manufacturing. Sehingga ini akan meningkatkan kualitas ekonomi, lapangan pekerjaan, dan juga taraf hidup kelas menengah yang ada di Jawa Barat dan tentunya di Indonesia.